Penjualan di masa PPKM: Benarkah Menurun?
Iya lebih sulit, tetapi apakah memang mustahil mencapai target penjualan di masa PPKM? Di artikel kali ini kita coba bahas dan coba kita rancang tindakan-tindakan yang mungkin bisa menolong penjualan Anda. Tetapi yang hampir pasti adalah – berharap kondisi kembali ke sebelum pandemi tanpa berbuat apa-apa hasilnya hampir pasti nol besar.
Di masa PPKM ini saya coba berdiskusi dengan beberapa teman dan kenalan mengenai situasi perusahaan, situasi ‘dagangan’, sampai ke situasi ekonomi. Pertanyaan pertama yang dibahas adalah apakah jualan semakin susah? Jawabannya memang iya, tapi tidak semuanya makin susah. Menarik, karena ada bagian yang berarti ‘tidak semua jualan makin susah’.
Rupanya penjualan untuk segmen-segmen ‘high-end’ sepertinya tidak terlalu terdampak oleh PPKM ini.
Rumah tinggal yang di kisaran ‘dua digit milyar’ tetap berhasil terjual. Tapi yang segmen-segmen middle-end ini memang terdampak jadi tambah susah jualannya.
Kemudian diskusi yang lain adalah tentang ‘apa iya daya beli masyarakat menurun?’ jawabannya kebanyakan iya turun, tetapi ada juga porsi lain yang ‘bukan daya beli nya yang turun’ tetapi kemauan untuk membelinya yang turun. Indikasinya terlihat dari saldo tabungannya yang bertambah banyak karena mengurangi konsumsi.
Di situasi lain kita berdiksusi soal sektor food and beverage, atau dengan bahasa sehari-harinya adalah sektor restoran dan kafe. PPKM yang melarang / membatasi konsumsi di tempat memang membuat penjualan menurun. Tetapi kalau kita melihat sekarang ini adanya layanan pesan-antar, harusnya bisa meng-kover demand yang ada, atau mensubstitusi konsumsi yang tadinya di tempat, menjadi di rumah masing-masing.
Ini menarik, karena iya layanan pesan-antar bisa mengkover demand tersebut kalau demand nya memang benar-benar soal ‘makanan’ dan ‘minuman’. Tetapi sektor F&B ini juga ada yang produknya bukan hanya sekedarr ‘makanan’ dan ‘minuman’ tetapi juga atmosfir, experience, dan lainnya. Ini yang tidak bisa di pesan-antar. Inilah yang membuat mereka jadi makin susah jualannya.
Nah, kalau situasinya seperti itu, produk Anda sifatnya adalah lebih kearah atmosfir, experience, dan sejenisnya; secara strategi cara menyikapinya adalah dengan masuk ke ‘defensive mode’. Mengurangi biaya secara signifikan. Tetapi terus-terusan defensive juga bisa jadi kurang baik.
Secara strategi, mode defensive terus-terusan hanya tepat digunakan jika ujung-ujungnya bisnis tersebut memang di ‘shut down’. Kalau bisnis masih ingin dijalankan atau dipertahankan. Setelah masuk ke mode defensive, sebaiknya bisnis kemudian masuk ke mode ‘recovery’.
Mode ‘Recovery’
Berbicara soal mode ‘recovery’ adalah berbicara soal inovasi. Inovasi berarti output dari berpikir ‘out of the box’. Tapi yang perlu di catat seperti jangan juga berpikir too far from the box karena relevansinya bisa di pertanyakan. Dan inovasi nya malah bisa membuat bisnis menjadi bimbang.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Yah pertama masuk mode defensive, kemudian harus cepat-cepat masuk mode recovery dengan berinovasi. Inovasi datangnya dari seluruh karyawan dalam bisnis / perusahaan. Maka dari itu langkah konkrit nya adalah dengan mendorong seluruh karyawan Anda untuk berpikir kreatif, menghasilkan inovasi, dan mengimplementasikannya dengan efektif.
Apakah hasilnya akan langsung bagus? Bisa jadi tidak!
Nah, jika hasilnya tidak langsung sesuai dengan yang di harapkan. Di sinilah prinsip continuous improvement akan berperan. Jadi ketika gagal, yah jangan kecewa tetapi coba pikirkan lagi alternatif yang lainnya.
Namun, dalam upaya menaikkan kembali penjualan, tentu saja upaya peningkatan soft skill setiap tenaga penjual juga perlu didukung, baik melalui pelatihan virtual maupun blended learning. Seperti itulah hal yang bisa kita lakukan di masa PPKM. Selamat mencoba, tetap sabar menjalani prosesnya, dan monitor terus pelaksanaannya.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!