Blended Learning Sebagai Program Pelatihan di Era New Normal
Kita sama-sama tahu bahwa kehidupan paska pandemic Covid-19 ini tidak akan sama lagi seperti sebelum pandemi terjadi. Sepanjang sejarah manusia, kita sudah diterpa berbagai macam krisis, dan sampai saat ini kita selalu bisa melewati krisis karena manusia adalah makhluk hidup yang pandai beradaptasi. Awalnya memang sulit, tapi seiring berjalannya waktu kita akan beradaptasi. Saat pandemi ini berakhir, kita akan hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baru.
Dunia pelatihan karyawan sudah ada sejak lama. Awalnya yang namanya pelatihan identik dengan pertemuan tatap muka dengan durasi berhari-hari. Kemudian model pelatihan berevolusi secara perlahan dan dari yang tadinya durasi pelatihan berhari-hari berubah menjadi modul-modul pelatihan yang lebih ringkas dengan durasi 1 sampai 3 hari, walaupun ada beberapa pelatihan yang mau tidak mau berlangsung berhari-hari.
Lalu kemudian Covid-19 datang mengubah segalanya. Sekarang sulit untuk melakukan pelatihan konvensional tatap muka di satu ruang kelas berisi 30 peserta dan 1 atau 2 orang instruktur. Alasannya? Mencegah penyebaran virus.
Covid-19 ini memukul dengan keras dan cepat sehingga awal-awal pandemi ini terjadi, banyak orang dan bisnis yang tergagap. Bingung harus menggunakan strategi seperti apa. Berdasarkan ‘naluri’ ketika kita menghadapi ketidakpastian, maka kita cenderung untuk ‘bermain aman’ yang wujudnya adalah pengurangan biaya; sebisa mungkin mengurangi biaya yang tidak berkontribusi secara langsung terhadap pemasukan.
Jadi terkait pelatihan, ada 2 hambatan yang harus kita urus. Pertama adalah soal pencegahaan penularan virus, dan kedua adalah soal efisiensi biaya. Lalu, apakah berarti tidak perlu diadakan pelatihan? Mengembangkan karyawan adalah hal yang penting. Sebuah bisnis sulit untuk ‘compettitive’ ataupun untuk bisa ‘survive’ jika karyawan dalam bisnis tersebut tidak kompeten atau kondisi tidak memungkinkan untuk orang tersebut menunjukkan kompetensinya. Jadi, kita perlu model pelatihan yang lain yaitu blended learning yang – harapannya – sama efektifnya.
Membedakan antara pelatihan dengan pengajaran
Pengajaran adalah memberikan pengetahuan atau ‘knowlegde’ bagi peserta. Jadi outputnya mereka tahu tetapi belum tentu bisa. Pelatihan adalah sarana bagi peserta untuk ‘latihan’ dan didalamnya ada fasilitator untuk membantu para peserta dalam berlatih. Jadi peserta bisa saja sudah ‘tahu’ tentang cara berkomunikasi yang efektif, tetapi belum ‘bisa’ untuk benar-benar bekomunikasi secara efektif.
Jadi ketika kita mempertimbangkan soal model pelatihan alternative selain model konvensional tatap muka, kita harus yakin kalau model tersebut memang untuk memberikan ‘pelatihan’, bukan sekedar ‘pengajaran’. Memang di dalam pelatihan juga ada unsur pengajaran, tetapi dominannya tetap ‘skill based’ atau ‘latihan’. Coba bayangkan kalau pelatihan mengemudi mobil isinya 100% teori soal mengendarai mobil. Teori tetap perlu, tetapi harus disertai dengan latihan.
Bagaimana dengan VILT (Virtual Instructor Lead Training)
Singkatnya model pelatihan ini mengalihkan lingkungan fisik kelas pelatihan kedalam platform digital. Positifnya, model ini adalah model yang paling mirip dengan pelatihan konvensional, dimana kelas dibawakan secara ‘live’ oleh instruktur.
Platform digital sekarang juga semakin banyak dan menawarkan fitur yang makin beraga juga. Diskusi kelompok bisa dipecah-pecah kedalam ‘breakout-room’, instruktur bisa memberikan penjelasan didalam ‘digital whiteboard’ yang bisa disimpan dan di download oleh peserta, dan banyak hal lainnya.
Tetapi kelemahannya adalah peserta tidak mendapatkan ‘ambience’ dari situasi pelatihan. Sulit untuk melihat bahasa tubuh orang lain di kelas pelatihan tersebut. Instruktur juga kesulitan untuk mendeteksi apakah ada peserta yang bingung ataupun hilang konsentrasi. Dan juga model ini bergantung pada stabilitas koneksi internet.
Jadi, bagaimana penerapan model VILT? Idealnya durasi VILT dibuat dengan lebih ringkas. Hindari melakukan sesi VILT selama 8 jam non-stop. Tapi juga jangan membuat sesi VILT terlalu singkat. Idealnya sekitar 2 – 4 jam, kemudian disambung lagi di lain hari.
Bagaimana dengan model lainnya?
Ada banyak model lainnya seperti video learning, dimana peserta diminta menonton video dan di akhir video ada test untuk memastikan tingkat pemahaman peserta. Ada juga dalam bentuk ‘podcast’ dimana seperti video learning tetapi hanya mengandalkan media audio. Bisa juga dengan memberikan tugas untuk melakukan pembelajaran secara mandiri, tetapi ini sangat tergantung dari individu peserta. Bagi yang memang bersungguh-sungguh yang bisa jadi efektif, tetapi ada juga yang kurang bersemangat ketika harus belajar secara mandiri.
Model-model seperti diatas tidak dibawakan secara ‘live’ oleh instruktur, tetapi bukan berarti model-model ini tidak baik. Model-model ini dinilai cukup efektif untuk memberikan porsi ‘teori’ dari pelatihan. Keunggulan lain adalah model ini bisa disimpan dan diakses kembali ketika diperlukan (misalnya ketika ada teori yang lupa).
Bagaimana kalau kita kombinasikan?
Modelnya kita namakan ‘Blended Learning’. Kita gabung berbagai macam model pelatihan yang memungkinkan untuk kita gunakan. Kalau memang memungkinkan juga kita gunakan model konvensional tetapi dalam porsi kecil, ya mengapa tidak. Blended Learning bisa jadi menggabungkan antara konvensional, VILT, video learning, podcast, tugas belajar mandiri, dan lainnya.
Apakah Blended Learning adalah model pelatihan yang sangat ideal untuk kondisi new normal? Belum tentu juga. Model ini akan ideal kalau segala sesuatunya direncanakan dengan sangat detil dan sangat presisi. Berbeda dengan full konvensional, instruktur dapat mengetahui secara ‘live’ tingkat kebosanan peserta dan bisa menggunakan ‘ice breaker’ saat diperlukan; pada model blended learning ini, kita harus memperkirakan, pada saat kapan peserta akan jenuh, dan kita akan alihkan ke model pelatihan apa?
Bisa jadi awalnya kita lakukan VILT selama 2 jam, lalu video learning selama 2 jam di hari berikutnya. Kita harus perkirakan apakah setelah 4 jam tersebut peserta akan jenuh? Apakah berikutnya kita akan berikan ‘interactive game’ terlebih dahulu sebelum kita adakan sesi VILT lagi. Demikian salah satu contoh hal yang harus kita pertimbangkan.
Kondisi new normal akan menuntut kita mengubah kebiasaan, termasuk dalam menyelenggarakan pelatihan. Tetapi kita juga harus mempertimbangkan model konvensional dalam kondisi new normal ini. Kemungkinannya adalah biaya pelatihan akan lebih mahal karena kapasitas kelas menjadi hanya 50% dari kondisi sebelum pendemi, dan lainnya. Jika Anda rasa bahwa yang paling tepat adalah pelatihan konvensional, berarti Anda harus mempersiapkan fisik fasilitas kelas dan pendukungnya dan mungkin alokasi anggaran pelatihan yang akan sedikit membengkak. Jika Anda mempertimbangkan model alternative yang lain, bisa jadi dengan mengadopsi Blended Learning adalah sebuah model baru yang layak dicoba.
Akhir kata, kita tetap perlu untuk mengembangkan karyawan dengan memberikan pelatihan, bukan hanya pengajaran. Dan sekarang ini ada beberapa model yang bisa digunakan. Model mana yang paling baik? Ya model yang direncanakan dan diimplementasi dengan baik, apapun itu. Selamat memutuskan. Good Luck.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!